WWW.BIDIKSATUNEWS,-
OPINI PUBLIK
Makamah Agung dan Independensi Kekuasaan Kehakiman
Oleh: Christian A. D. Rettob
(Aktivis PMKRI dan Pemerhati Hukum Indonesia)
Reformasi hukum yang ditandai dengan amandemen konstitusi sebanyak empat kali di
tahun 1999 – 2002 sangat mempengaruhi posisi Mahkamah Agung (MA) serta independensi
kekuasaan kehakiman, dalam hal mewujudkan citra hukum yang responsif. MA berpijak pada
Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang
menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menegakkan
hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat 1) dan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung
dan badan peradilan di bawahnya, serta Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat 2). Secara spesifik
peran MA diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 (UU NO.48 tahun 2009)
tentang Kekuasaan Kehakiman, di antaranya Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan bahwa hakim dan
hakim konstitusi wajib memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
Karakteristik setiap negara hukum (rechtsstaat) harus memiliki kekuasaan kehakiman yang
independen serta tidak dapat diintervensi oleh kekuasaan manapun. Di Indonesia, MA diberi
wewenang secara institusional untuk menjalankan kekuasaan kehakiman dan mempunyai
komitmen untuk menjaga kemurnian konstitusi (The Guardian of the Constitution).
Indeks kepercayaan publik terhadap MA
Integritas suatu lembaga dapat diukur melalui beberapa variabel empirik, salah satunya
ialah indeks kepercayaan publik terhadap lembaga itu sendiri. Global Corruption Barometer
(GCB) yang dirilis Transparency International dalam tujuh tahun terakhir mencatat kinerja
kolektif MA dan peradilan di bawahnya yang telah melakukan perbaikan pelayanan yudisial dan
non-yudisial, khususnya dalam menyikapi kasus tindak pidana korupsi di tahun 2013 (86%), 2017
(32%), dan 2020 (24%). Pada tahun 2022, World Justice Project meluncurkan Rule of Law Index
yang merupakan indeks komposit dari Corruption Perception Index, menunjukkan bahwa civil
justice system ialah faktor utama yang mempengaruhi angka kepercayaan publik terhadap MA di
Indonesia.
Tingkat kepercayaan publik terhadap MA dalam hal integritas hakim, aparatur peradilan
dan badan peradilan di bawahnya mengalami penurunan. Indikasi penurunan kepercayaan publik
tersebut terlihat dari hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap MA dengan skor
82,72 sejak tahun 2021 dan menurun di tahun 2022 dengan skor 74,61 setelah menangani
(minutasi) tindak pidana korupsi sebanyak 30.195 perkara. Evaluasi birokasi MA di tahun 2023
tercatat 70,18 skor yang disebabkan oleh jumlah 2.644 perkara dari 344 pengadilan pengaju yang
tidak dapat diselesaikan melalui kebijakan kasasi elektronik
Pada tahun 2024 MA menuai beberapa respon publik. Vonis pailit terhadap Warga Negara
Asing (WNA) pemilik saham mayoritas PT. Krama Yudha menjadi salah satu problematika yang
mewarnai jagat media hingga mengguncang pagar gedung MA. Darmaturgi ini berawal dari
putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, hasil rekomendasi Pengadilan Tinggi Jakarta, hingga
mogoknya permohonan kasasi di MA yang dianggap menjadi sebuah anomali sistem penegakan
hukum. Hal ini tentu akan menambah akumulasi kepercayaan publik terhadap institusi peradilan
di Indonesia apabila tidak diproses secara efektif melalui prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
Reformasi MA dan Institusi Peradilan
Paradigma reformasi MA dan institusi peradilan dalam struktur hukum di Indonesia cukup
diperkuat oleh doktrin separation of powers yang bermuara pada pemulihan kekuasaan kehakiman
kepastian hukum. Lahirnya TAP MPR No. XI/MPR/1998 yang menjelma ke UU No. 35 tahun
1999, disempurnakan oleh UU No. 4 tahun 2004 dan diubah menjadi UU No. 48 tahun 2008
tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan konsekuensi logis atas pemulihan kekuasaan
kehakiman yang bebas dari perngaruh pihak manapun (ekstra yudisial).
Kekuasaan kehakiman yang indpenden boleh dikatakan sehat bilamana dicapai melalui
konsep The Supreme Court Reform atau Reformasi MA, persis pendapat Prof. Dr. Bagir Manan,
SH., MCL. dalam buku “Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman” (2008). Reformasi MA
boleh dilakukan dengan merubah struktur hukum atau merekonstruksi sistem perundang-undangan
dan peraturan yang mengatur jalannya peradilan, sedangkan pemulihan kekuasaan kehakiman
dalam hal institusi peradilan ditempuh dengan konsolidasi internal dan perbaikan secara
kelembagaan. Hal ini akan berdampak signifikan terhadap supremasi hukum dan posisi MA
sebagai institusi yang mempertahankan independensi kekuasaan kehakiman.
Peradaban hukum Indonesia dan sistem penegakannya hari-hari ini belum sepenuhnya
menjawab harapan masyarakat, sebab kekuasaan kehakiman dalam hal institusi peradilan dan para
hakim tentu memiliki dinamika tersendiri dalam memperoleh inpendensinya. Sebagai puncak dari
empat elemen peradilan di Indonesia, MA diharapkan menjadi benteng terakhir untuk menjaga
prinsip keadilan dengan memberikan interpertasi yang substansial sebagai solusi terhadap
kebuntuan penerapan hukum.
Kompleksitas dinamika peradilan Indonesia tentu memberikan evaluasi terhadap MA dan
semua institusi peradilan dibawahnya untuk tetap berpijak pada prinsip-prinsip peradilan secara
komprehensif. Apabila integritas setiap institusi peradilan kuat, maka penegakan hukum di
Indonesia akan jauh lebih bermartabat
ILUSI MATA POLITIK.
« Prev Post
Next Post »